Kamis, 16 Juni 2011

Tak Seindah Bidadari


Bidadari. Sangat sering kita membaca, mendengar, atau bahkan menggunakan kata tersebut dalam percakapan atau bahasa sehari-hari untuk menggambarkan perempuan yang cantik jelita, dan yang mempesona.

Bidadari sebenarnya berasal dari kata bahasa Sanskerta, yaitu vidyadhari, kata vidya berarti pengetahuan/ilmu dan kata dhari berarti pembawa (akhiran –i menunjukkan sifat feminin), jadi bidadari itu artinya adalah “pembawa ilmu”. Mungkin sang pembawa ilmu yang dimaksud itu adalah para peri (bahasa Inggris: fairy) dari golongan dewa yang tinggal di Kayangan (Kerajaan Atas Angin) yang merupakan pembawa berita-berita, perintah-perintah dan juga ilmu dari negeri atas angin (langit) kepada negeri bawah angin (bumi). Dalam penggambaran orang sehari-hari, peri sering digambarkan sebagai sosok wanita yang cantik, bercahaya dan memiliki kekuatan luar biasa (extraordinary) yang mampu mewujudkan keinginan dan permohonan manusia yang bersifat luar biasa dan menakjubkan.

Dua tahun silam, ketika menjalani masa per-coassan di bagian Psikiatri  ku bertemu  seorang pasien. Awal melihatnya, dia tampak sama saja dengan pasien yang lain. Kerudung bunga-bunga coklat dipadukan kemeja kuning dan rok abu-abu. Ah, seleranya berpakaiannya buruk, pikirku.Kesadaranku pulih, dia khan pasien psikiatri Eki. Mengingat tempat dimana dia berada sekarang saja tak begitu mampu, apalagi harus mengurus padu padan pakaian. Tapi dia menang satu hal, sendu matanya membiusku *halah, alaaay*…Gadis manis itupun mulai berceloteh tentang hal-hal  seru dalam hidupnya. Mulai dari adik TPA binaanya yang masih terbalik membedakan yang mana huruf nun yang mana ba, cah kangkung buatannya yang menurut ayah tak pernah enak, adik bungsu yang sering mengatainya pesek, ketua Karang Taruna yang membuatnya jatuh hati…..aih….aih… sampai akhirnya menangis tersedu ketika bercerita soal nenek.Ya, nenek yang selalu membandingkan dirinya dengan Sang Ibu. Begini katanya lirih “Teh, kata nenek dulu ibuku cantik sekali…kaya’ Mulan Jameela…ini fotonya”. Dia menyodorkan selembar foto buram, sepertinya foto itu sudah pernah dirobek tapi akhirnya disambung lagi dengan lem. “ Iya Dek, cantik”, kataku tersenyum. Tapi dia bukannya bahagia mendengar ibunya dikatakan cantik. Tangisannya malah tambah kencang. Kutunggu sampai tangisnya reda…dua menit..lima menit..10 menit…belum berhenti menangis ternyata…..Duh, kalau kayak gini terus BST ku nggak bakalan selesai-selesai nih, pikirku…Akhirnya kuakali dan bilang “Tapi Dina (nama samaran) lebih cantik kok, Dek….jauh lebih cantik”.Alhamdulillah, jurusku berhasil, dia berhenti menangis… tersenyum dan bercerita lagi…nadanya lebih tegas kini. “Teh, nenek sering bilang aku nggak secantik ibu…aku lebih mirip Bapak….nggak kaya’ Adek.. kesel”. Kubiarkan dia menumpahkan semua, mencoba berempati….
Seorang psikolog kenamaan, Rahmita P. Soendjojo mengatakan bahwa pola asuh yang sering membandingkan antara anak yang satu dengan anak yang lain atau dengan anggota keluarga lain akan membentuk kepribadian peragu bagi anak yang bersangkutan. Sebaliknya, anak yang jadi bahan pembanding akan selalu merasa diri sempurna sehingga sering salah arah. Memang, aku Mitha, membanding-bandingkan adalah sesuatu yang wajar dan alamiah. Orang dewasa, misal, bukankah kalau “digesek” seperti itu akan lantas panas hingga terpacu semangatnya? Tapi jangan lupa, anak bukan orang dewasa karena ia masih serba terbatas, baik fisik, kemampuan, maupun cara berpikirnya. Anak tak akan langsung bisa mengambil keputusan untuk belajar atau berbuat manis karena pengalaman belajarnya juga belum ada. Karena itu, mulai kini eki ingin belajar memanggil Dina atau Dina-Dina yang lain dengan sebutan  bidadari…….Pun tak cantik, pun tak pintar, pun tak berbakat, pun tak semangat sekalipun, mereka layak dipanggil bidadari….

Teruntuk Dina, semangat ya^^…

Karawang, 16 Juni 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar